SEPATU PINK DARI TEMPAT SAMPAH
Tiba-tiba seseorang mengelus
rambutku. Sementara di luar kelas kudengar teman-teman sekelas seperti sedang membicarakanku. Ada yang
berbisik, ada juga yang tertawa mengejek.
“Ono
opo, Mah ?”
Dari suaranya aku tahu kalau itu
Mbak Rumisih, kakakku yang nomor lima. Aku dan Mbak Rum memang satu sekolahan
di SMP Negeri 21 Semarang. Aku kelas
satu, sedangkan Mbak Rum kelas dua.
“Nggak ada apa-apa kok Mbak,” jawabku, sambil masih kuletakkan kepalaku di atas meja.
“Yo
wis, diam ya !. Malu ah, didengar teman-temanmu.”
Setelah menyarankan begitu, Mbak Rum langsung
meninggalkanku. Dia kelihatan terburu-buru, karena sebentar lagi akan ada rapat
rutin OSIS. Mbak Rum memang salah seorang
pengurus OSIS dan Pramuka yang aktif di SMP kami.
Rasanya aku tak sanggup menceritakan
masalahku kepada Mbak Rum, penyebab kenapa aku menangis. Aku tak ingin membuat
Mbak Rum sedih. Ini memang masalah
pribadiku. Lebih tepatnya aku baru saja punya
masalah karena diejek oleh Santi, teman
sekelasku. Penyebabnya sebetulnya sepele
: sepatu. Tega-teganya cewek tomboy itu mengejek asal muasal
sepatuku di depan teman-teman sekelasku.
***
Hari Minggu itu, belasan tahun yang lalu, ketika aku
sedang asyik bermain-main di dekat tempat sampah umum, tiba-tiba mataku
tertumbuk pada sebuah benda : bertali, berwarna pink, dan kondisinya masih lumayan bagus. Oleh Mas Agus, kakakku yang
nomor empat, sepasang sepatu itu
dibawanya pulang. Aku hanya membuntutinya dari belakang.
Setelah dicuci, sepatu itu diulurkannya ke arahku.
Karena di keluargaku, sepertinya ukuran kakikulah yang bisa masuk ke
sepatu itu. Biasanya aku memakai sepatu
ukuran 37. Oh ya, di kami terdiri dari
delapan bersaudara. Aku adalah anak paling bontot.
Bapakku adalah seorang pensiunan Pegawai Negeri Sipil dengan pangkat I/d. Untuk
menambah uang belanja, setiap sore bapak
jadi tukang becak di daerah Karangayu dan Pusponjolo.
“Kebesaran,” kataku beralasan.
“Kan bisa disumpeli koran atau pakai kaos
kaki besar ? “ Mas Agus memberikan usul.
Usulnya kuterima. Apalagi
sepatuku yang lama memang sudah rusak parah. Sudah saatnya untuk diganti.
Tetapi karena kulihat ibu belum punya
uang, aku tidak berani minta untuk dibelikan sepatu. Lebih baik uangnya buat
makan sehari-hari dan membayar SPP sekolah
kami saja.
Keesokan harinya sepatu pink yang
bertali itu kupakai ke sekolah. Didalamnya
kukasih kertas koran, untuk menutup ruang longgar dalam sepatu. Masih agak kebesaran sedikit siih. Tapi tak
apalah. Toh, sepatunya juga masih lumayan bagus. Hanya saja, aku harus berhati-hati melangkah saat aku memakai sepatu
itu. Pun tak boleh menendang-nendangkan kaki ke udara. Karena kalau terlalu keras, nanti
sepatunya bisa melayang, dan mengenai siapa
saja yang ada di depanku.
Selama beberapa hari kupakai sepatu
itu dengan aman. Aku tidak cerita ke siapa pun kalau sepatu itu kudapatkan dari
tempat sampah. Apalagi SMP ku termasuk sekolah favorit dan bermuridkan anak-anak
dari kalangan menengah ke atas. Saat itu (tahun 1989 an) lagi booming-boomingnya sepatu Eagle dan Loggo. Kulihat sebagian besar teman-temanku memakai
sepatu Eagle yang berwarna biru bergaris
putih. Gagah betul. Dan menurutku, bagaikan pungguk merindukan bulan saja kalau aku ingin memakai sepatu seperti
milik teman-temanku yang kaya itu.
Entah dari mana asalnya, tiba-tiba
saja teman sekelasku yang jahil, Santi, mengetahui kalau sepatuku berasal dari
tempat sampah. Saat kami berselisih paham dan bertengkar, asal muasal sepatuku pun disebutnya. Naasnya lagi,
saat itu disamping kami sedang banyak anak kelas satu yang
sedang berkumpul untuk istirahat siang.
“Hei lihat, sepatunya Sukimah baru
tuh ! Tapi kok kebesaran ya ? Dapat dari mana niih ? Tempat sampah yang dekat
rumahnya ya ? “
Dheg
! Aku kaget. Dari mana Santi tahu
kalau sepatu yang kupakai ini kuperoleh dari tempat sampah ?
Saking malunya, gara-gara bertengkar dengannya aku jadi menangis. Rasanya
saat itu seluruh anak menatap mengejek ke arahku. Padahal di lingkungan
teman-temanku, aku anaknya termasuk cuek
sekali. Diejek separah apapun, aku hanya diam. Tetapi kenapa hanya karena
sepatu, aku sampai menangis tak berhenti ?
***
Kini, setiap aku mudik ke kampung
halaman di Semarang dan melewati tempat
sampah itu, ingatanku selalu melayang ke sepatu pinkku yang bertali. Walau tempat sampah itu kini tak seramai dan sebesar dahulu lagi, tetapi aku selalu ingat asal muasal sepatuku
itu.
Walau kadang rasa nelongso
menelusup di dalam hatiku, tetapi
aku juga menyimpan rasa bangga terhadap
sepatuku tersebut. Berkat sepatu pink
bertali dari tempat sampah itu aku bisa sekolah di Sekolah Tinggi Akuntansi
Negara (STAN) dan kini bekerja sebagai seorang Account Representative (AR)
di Direktorat Jenderal Pajak.
************
*Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Kisah Inspirasi Sepatu Dahlan dan diposting dalam rangka lomba tersebut.