Senin, 21 Mei 2012

SEPATU PINK DARI TEMPAT SAMPAH


SEPATU PINK DARI TEMPAT SAMPAH


             Tiba-tiba seseorang mengelus rambutku. Sementara di luar kelas kudengar teman-teman sekelas  seperti sedang membicarakanku. Ada yang berbisik, ada juga yang tertawa mengejek.
           “Ono opo, Mah ?”
Dari suaranya aku tahu kalau itu Mbak Rumisih, kakakku yang nomor lima. Aku dan Mbak Rum memang satu sekolahan di SMP  Negeri 21 Semarang. Aku kelas satu, sedangkan Mbak Rum kelas dua.
       “Nggak ada apa-apa kok Mbak,” jawabku,  sambil masih kuletakkan kepalaku di atas  meja.
        “Yo wis, diam ya !. Malu ah, didengar teman-temanmu.”
Setelah  menyarankan begitu, Mbak Rum langsung meninggalkanku. Dia kelihatan terburu-buru, karena sebentar lagi akan ada rapat  rutin OSIS. Mbak Rum memang salah seorang pengurus OSIS dan Pramuka yang aktif di SMP kami.
           Rasanya aku tak sanggup menceritakan masalahku kepada Mbak Rum, penyebab kenapa aku menangis. Aku tak ingin membuat Mbak Rum sedih.  Ini memang masalah pribadiku.  Lebih tepatnya aku baru saja punya masalah karena   diejek oleh Santi, teman sekelasku. Penyebabnya sebetulnya  sepele  : sepatu. Tega-teganya cewek tomboy itu mengejek asal muasal sepatuku  di depan teman-teman sekelasku.

***
             Hari Minggu itu, belasan tahun yang lalu,  ketika aku sedang asyik bermain-main di dekat tempat sampah umum, tiba-tiba mataku tertumbuk pada sebuah benda : bertali, berwarna pink, dan kondisinya masih  lumayan bagus. Oleh Mas Agus, kakakku yang nomor empat,  sepasang sepatu itu dibawanya pulang. Aku hanya membuntutinya dari belakang.
              Setelah dicuci, sepatu itu diulurkannya ke arahku. Karena di keluargaku, sepertinya ukuran kakikulah yang bisa masuk ke sepatu  itu. Biasanya aku memakai sepatu ukuran 37. Oh ya, di  kami terdiri dari delapan bersaudara. Aku adalah anak paling bontot. Bapakku adalah seorang  pensiunan  Pegawai Negeri Sipil dengan pangkat I/d. Untuk menambah uang belanja, setiap sore bapak  jadi tukang becak di daerah Karangayu dan Pusponjolo.  
          “Kebesaran,” kataku beralasan.
          “Kan bisa disumpeli koran atau pakai kaos kaki besar ? “  Mas Agus  memberikan usul.
Usulnya kuterima. Apalagi sepatuku yang lama memang sudah rusak parah. Sudah saatnya untuk diganti. Tetapi karena kulihat  ibu belum punya uang, aku tidak berani minta untuk  dibelikan sepatu. Lebih baik uangnya buat makan  sehari-hari dan membayar  SPP  sekolah kami saja.
            Keesokan harinya sepatu pink yang bertali itu  kupakai ke sekolah. Didalamnya kukasih kertas koran, untuk menutup ruang longgar dalam sepatu.  Masih agak kebesaran sedikit siih. Tapi tak apalah. Toh, sepatunya juga masih lumayan bagus.  Hanya saja, aku harus  berhati-hati melangkah saat aku memakai sepatu itu. Pun tak  boleh menendang-nendangkan  kaki ke udara. Karena kalau terlalu keras, nanti sepatunya bisa melayang, dan  mengenai siapa saja yang ada di depanku.
         Selama beberapa hari kupakai sepatu itu dengan aman. Aku tidak cerita ke siapa pun kalau sepatu itu kudapatkan dari tempat sampah. Apalagi SMP ku termasuk sekolah favorit dan bermuridkan anak-anak dari kalangan menengah ke atas. Saat itu (tahun 1989 an) lagi  booming-boomingnya  sepatu Eagle dan Loggo.  Kulihat sebagian besar teman-temanku memakai sepatu Eagle  yang berwarna biru bergaris putih. Gagah betul. Dan menurutku, bagaikan pungguk merindukan bulan  saja kalau aku ingin memakai sepatu seperti milik teman-temanku yang kaya  itu.
            Entah dari mana asalnya, tiba-tiba saja teman sekelasku yang jahil, Santi, mengetahui kalau sepatuku berasal dari tempat sampah. Saat kami berselisih paham dan bertengkar, asal  muasal sepatuku pun disebutnya. Naasnya lagi, saat itu disamping kami sedang banyak anak kelas  satu  yang sedang berkumpul untuk istirahat siang.
           “Hei lihat, sepatunya Sukimah baru tuh ! Tapi kok kebesaran ya ? Dapat dari mana niih ? Tempat sampah yang dekat rumahnya ya ? “
           Dheg ! Aku kaget. Dari mana Santi tahu kalau sepatu yang kupakai ini kuperoleh  dari tempat sampah ?                
                Saking malunya, gara-gara bertengkar dengannya aku jadi menangis. Rasanya saat itu seluruh anak menatap mengejek ke arahku. Padahal di lingkungan teman-temanku, aku anaknya termasuk cuek sekali. Diejek separah apapun, aku hanya diam. Tetapi kenapa hanya karena sepatu, aku sampai menangis tak berhenti ?    
***
             Kini, setiap aku mudik ke kampung halaman di Semarang  dan melewati tempat sampah itu, ingatanku selalu melayang ke sepatu pinkku yang bertali.  Walau tempat sampah itu kini tak seramai dan  sebesar dahulu lagi,  tetapi aku selalu ingat asal muasal sepatuku itu.
            Walau kadang rasa nelongso  menelusup di dalam hatiku,  tetapi aku juga menyimpan rasa bangga  terhadap sepatuku tersebut. Berkat sepatu  pink bertali dari tempat sampah itu aku bisa sekolah di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) dan kini bekerja sebagai seorang Account Representative  (AR) di Direktorat Jenderal Pajak.
************

*Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Kisah Inspirasi Sepatu Dahlan dan diposting dalam rangka lomba tersebut.