Kamis, 16 Mei 2013

RESENSI NOVEL : SOSOK DAHLAN ISKAN DALAM LIPATAN SURAT





Judul buku :  Surat Dahlan
 Penulis       : Khrisna Pabichara
Cetakan  I   :   Januari 2013
Penerbit      : Noura Books (PT Mizan Publika)
Tebal             : 396 hal
ISBN               : 978-602-7816-25-1
         
          Bisakah  hubungan percintaan jarak jauh tanpa surat ? Bagaimanakah Dahlan Iskan  bisa “terjerumus” dalam dunia surat kabar ? Setumpuk pertanyaan  yang lain langsung  memenuhi rongga kepala  ketika membaca judul buku ini. Tapi setelah ditelaah lebih mendalam, ternyata ada kisah  seorang Dahlan Iskan  yang tampil dalam balutan lipatan surat, lengkap dengan nilai filsafat dan cara bertuturnya yang unik.
           Novel Surat Dahlan ini jelas bukan satu-satunya  novel  atau buku yang berbicara tentang  Dahlan Iskan. Sudah  cukup banyak buku tentang  Dahlan Iskan, entah itu dalam bentuk biografi , kisah inspiratif, motivasi,  lakon,  maupun kajian lain. Sebut saja buku INDONESIA habis gelap terbitlah terang, Dahlan Iskan GANTI HATI Tantangan menjadi menteri, Dua Tangis dan Ribuan Tawa, Dahlan Iskan Manufacturing Hope Bisa !, Dahlan juga manusaia, Dahlan Iskan from zero to hero, Inilah Dahlan itulah Dahlan, certwit Dahlan is can, Spirit Hidup Dahlan Iskan, Dahlan Iskan pemimpin yang happy dan Motivasi super Dahlan Iskan. Semua itu lahir dari dorongan, kepentingan, dan sudut pandang yang berlainan.
              Kendati demikian, kalau mau dibandingkan dengan  novel  atau buku  lain,  trilogi novel inspirasi Dahlan  Iskan  anggitan  Khrisna Pabichara ini setidaknya patut diperhatikan karena tiga alasan.
Pertama, buku ini merupakan suatu upaya realistis dalam menampilkan sosok  Dahlan Iskan.  Lewat  novel setebal 396 halaman ini Khrisna Pabichara  coba menghadirkan sisi lain kehidupan  Dahlan Iskan dalam bentuk, cara dan sisi yang lain. 
                Bila novel pertama (Sepatu Dahlan) lebih banyak mengambil lokasi Desa Kebon Dalem, Magetan-Jatim, maka novel kedua didominasi latar belakang Kaltim, utamanya Samarinda. Di kota inilah, Dahlan Iskan muda mulai merintis sebagai wartawan. Padahal tujuan awal Dahlan dari desanya ke Samarinda untuk kuliah. Adalah Sayid Alwi AS yang “menjerumuskan” Dahlan ke dunia jurnalistik. Dalam novel, juga disebutkan beberapa tokoh wartawan Kaltim yang dekat dengan Dahlan, seperti Aan R Gustam (hanya ditulis Aan), Syuhainie, Ibrahimsyah, Yunani, dan lain-lain. Saat menjadi wartawan Mimbar Masyarakat pimpinan Sayid Alwi, Dahlan banyak belajar menjadi wartawan dari mereka.
Dalam novel ini juga digambarkan kondisi Kota Tepian tempo dulu. Juga disinggung tentang Kelurahan Sungai Kerbau. Sebagian isi novel ini memang  fiksi, namun lokasi benar-benar ada, seperti Sungai Kerbau itu memang ada.
                Novel ini juga menggambarkan kisah percintaan Dahlan, antara janji temu dengan cinta pertama, lamaran sahabat baiknya, dan cinta baru yang dia temukan di tanah rantau. Pada akhirnya Dahlan justru melamar Nafsiah, anak tentara asal Loa Kulu. Dari pernikahan ini mereka dikaruniai dua anak : Rully dan Isna.

Kedua, untuk menghasilkan novel yang menjiwai cerita tentang Dahlan Iskan ini Khrisna Pabichara  harus melakukan riset mendalam. Khrisna, antara lain, mendatangi Loa Kulu, Sangatta, Tanjung Isuy, Sangkulirang, Muara Tae, sampai Berau.  Bahkan di Tanjung Isuy,  Khrisna  sampai harus tidur di rumah camat. Karena dulu Bu Nafsiah  (Istri Dahlan Iskan) juga tidur di rumah camat. Dan tentu akan beda hasilnya antara novel yang didasari survey yang mendalam, dengan novel yang tampil ala kadarnya atau  "kata si anu".

Ketiga,
Sifat Dahlan Iskan  dan pesan moral disampaikan lewat bahasa yang kadang  “tak teraba”, begitu menyentuh, tanpa ada kesan  menggurui.  Seperti misalnya :
-                 Ternyata selain diberkati dengan semangat dan kegigihan, Dahlan Iskan juga dikaruniai watak pembosan. Dua karakter yang sangat jauh berbeda.
-                     Kita hidup dari apa yang kita dapatkan dan kita bahagia dari apa yang kita berikan (kalimat yang dikutip Dahlan Iskan dari biografi Winston Churchill ketika menasehati Nafsiah, yang biasa disapa Anding,  ketika dilarang ayahnya mengikuti kegiatan PII (Pelajar Islam Indonesia) (halaman 84-85).  

            Gaya tutur  Khrisna Pabichara  yang enak, bahkan mengalir dengan bertolak dari  wawancara dan survey dari berbagai sumber, kemudian dirangkai dalam bentuk narative science history membuat novel  ini memikat untuk dibaca. Kalau pun ada yang bikin gemas, itu hanyalah satu pertanyaan kecil : kenapa Dahlan Iskan muda tak pernah bisa membalas dan melipat surat untuk Aisha ? Itu saja.



*******

Tulisan ini diikutkan dalam  Lomba Resensi Novel Surat Dahlan

Sumber : http://socnetid.biz/lomba-resensi-novel-surat-dahlan/#