Selasa, 25 September 2012

RESENSI NOVEL : DENDAM CINTA PEREMPUAN YANG BERKILAU



Judul buku :  Safir Cinta (Dwilogi perempuan meniti  cahaya)
 Penulis       : Faradina Izdhihary
Cetakan      : I, 2012
Penerbit      : Writing Revo Publishing
Tebal          : 275 hal
ISBN          : 978-602-18484-4-9
Harga         : Rp 45.000,00
            
            Bisa dihitung dengan jari guru perempuan di negeri ini yang memiliki keahlian merangkai dan meramu kata hingga menjadi sebuah puisi atau novel yang cantik. Jika ada, salah satu diantara  pendidik itu adalah Faradina Izdhihary, nama pena dari Istiqomah, S.Pd., M.Pd. Dan sebagai seorang perempuan, karya-karya Faradina  sering mengangkat tema tentang kaumnya. Sebut saja misalnya Perempuan dalam sajak, Seputih cinta Hawna, antologi Impian Liar Perempuan, dan yang terakhir adalah Safir Cinta (Dwilogi perempuan meniti cahaya).
          Novel Safir Cinta  berkisah tentang lika-liku kehidupan Sri (nenek Reysa), Endang (ibu Reysa) dan Reysa sendiri dalam menjalani takdir cinta dan rumah tangga mereka masing-masing. Entah kutukan turunan atau bukan, nyatanya Sri dan Endang melahirkan anaknya tanpa didampingi oleh ayah kandung sang bayi. Sri melahirkan Endang setelah diperkosa oleh sekelompok laki-laki biadab. Meski ada  Santjoyo yang bersedia menikahinya, tetapi sikap jahatnya melebihi iblis.  Santjoyo bahkan tega memperkosa Endang, anak tirinya ketika mengandung Reysa. Nasib Endang ternyata tak berbeda dengan Sri.  Dia dinikahi oleh Mulyono, suami bayaran  yang ternyata juga bersifat busuk. Mulyono sejatinya  memiliki kelainan seksual,  yang selalu menjambak dan menampar Endang sebelum menggaulinya. Sebelum menikah dengan Endang,  Mulyono sudah mempunyai dua istri. Endang sebenarnya mengandung buah cintanya dengan  Edwin, teman satu SMA nya. Tetapi karena sifat jahat orang tua Edwin, Maryati dan Juragan Herman, Sri hanya diberi uang untuk membeli suami bayaran  buat Endang, guna menutupi aib mereka. Ketika  Endang  ingin bertemu Edwin, terdengar kabar bahwa Edwin telah meninggal dunia karena kecelakaan. Padahal sebetulnya tidak.
           Reysa  akhirnya melakukan petualangan cinta demi membalaskan dendam nenek dan ibunya. Ia  terjebak dalam kerangka berfikir yang salah tentang  dendamnya kepada laki-laki  selama bertahun-tahun. Reysa ingin membuat banyak lelaki  jatuh cinta dan tunduk di bawah kecantikan dan kehebatannya. Setelah para lelaki tunduk padanya, ia berniat akan meninggalkan mereka begitu saja. Reysa ingin para laki-laki itu ikut merasakan sakitnya perbuatan yang telah mereka lakukan kepadanya, kepada ibunya, juga neneknya. Dia ingin tahu, bagaimana rasanya membagi-bagi cinta, seperti para lelaki dulu memperlakukan nenek dan ibunya dahulu.
           Layaknya safir,  batu berharga yang terbuat dari aluminium oxide, Reysa memang memiliki banyak warna kelebihan yang memikat kaum laki-laki. Hidupnya sangat berkilau. Dengan wajah cantik,  pendidikan dan karier  yang cemerlang serta kehangatan luar biasa di atas ranjang, menjadikannya banyak dipuja oleh kaum adam. Selingkuhan Reysa yang pertama bernama Johan, selanjutnya Anthony, Kevin dan banyak lagi lelaki lain. Tetapi ketika dia bertemu dengan Suhardjono, yang sesungguhnya adalah Edwin, ayah kandungnya, cerita menjadi kian menarik dan menegangkan. Apalagi saat itu  Reysa sudah terjerumus dalam obat-obatan terlarang, minuman keras, kehidupan seksual yang menjijikkan,  dan kemunculan Kevin yang ingin meneror dengan rencana akan membeberkan segala rahasia dan ingin  membunuhnya, Reysa merasa tersungkur. Dia merasa berada dalam pusaran masalah yang rumit, yang tak mampu diselesaikan dengan cara apa pun.
        Dendam cinta ini berakhir dengan happy ending,  walau nyaris saja  Reysa  kehilangan suami, kedua anak dan ibunya. Reysa  terlahir kembali menjadi gadis yang mendapatkan nur Illahi  setelah dia terbangun dari kematian sandiwaranya.
        Sang pengarang, Faradina Izdhihary, mencoba membuka pemikiran kita bahwa harta, tahta dan cinta bukanlah segala-galanya. Karena bila salah menggunakannya, bukannya manfaat yang didapat, melainkan mudharat atau kerusakan yang akan dirasakan.
         Novel ini sangat unik. Di tengah-tengah membanjirnya novel bergaya Korea, atau bersetting luar negeri, novel ini berani menampilkan setting daerah Jawa Timur, Jawa Barat dan DKI  Jakarta. Dengan gaya penulisan  flash back,  didukung keahlian Faradina dalam menuliskan idiom-idiom  jawa yang sarat dengan pesan moral, menjadikan novel ini kian menarik. Lihat saja dalam sub judul-sub judulnya : Kere munggah bale, Anak polah bapa kepradah. Juga filosofi-filososfi jawa seperti Swarga nunut neraka katut  dan istilah Pangeran katon.  Tak hanya itu. Novel roman  ini juga menampilkan kisah percintaan tiga wanita dalam satu keturunan dan mampu menyajikannya secara apik.        
      Tak ada gading yang tak retak. Ada sedikit kekurangan pengarang  dalam menggambarkan setting cerita dalam novel ini.  Contoh, ketika Reysa  bertemu tak sengaja dengan Bram di kantor Dinas Perpajakan. Waktu itu diceritakan Bram sedang  mengantarkan ibunya membayar pajak kantornya. Sejak namanya berupa Kantor Inspeksi Pajak (KIP), Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan sekarang berubah menjadi Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPP Pratama) atau Madya, tidak pernah sekali pun  kantor pajak itu  menerima pembayaran pajak dari para Wajib Pajak (WP) nya . Kantor pajak hanya mengurusi masalah administrasi perpajakan, sedangkan pembayaran semua  jenis  pajak dilakukan di bank.  Kantor pajak juga belum pernah merubah nama  instansinya menjadi Dinas Perpajakan.
        Juga ada sedikit kesalahan dalam penulisan huruf, typo atau kata dalam penulisan novel ini. Yang paling sering adalah kesalahan dalam penulisan kata ganti milik. Seperti penulisan dan penempatan yang kurang tepat untuk  kata-kata   aku, dia, kamu, nya dan  mereka.  
        Akhir kata, novel roman Safir Cinta ini layak diapresiasi karena keunikan dan  pesan moral yang diangkat. Selamat menikmati kilauan warna biru, kuning, pink, ungu, orange atau hijaunya  kisah-kasih cinta anak manusia dari tiga generasi ini.     

*********