Minggu, 25 Januari 2015

Hape Mania





Sehari menjelang libur semesteran, tiba-tiba anak kedua saya, Rifqi (9 tahun) mendekati saya.

“ Bu, aku kepingin sunat,” suaranya pelan.

Tapi di telinga, suaranya bagaikan petir di siang bolong. Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba anak yang takut jarum suntik itu minta disunat atau dikhitan. Langsung saya pegang kepalanya.
“ Kamu nggak kenapa-kenapa kan, Qi ? Dulu katanya sunatnya kalau sudah naik kelas 5 ? Sekarang kan masih kelas 4?“

Harap maklum kalau ibunya kaget, soalnya belum siap lahir dan bathin. Eh, ini yang mau disunat siapa ya, Rifqi atau ibunya ? Maksudnya, belum siap uang biaya sunat dan lain-lainnya itu lhoo..

“ Biar kalau renang nggak tenggelam, Bu ,” alasannya, ketika saya desak lebih lanjut kenapa kok tiba-tiba minta sunat.
Memang apa hubungannya antara sunat dan bisa renang ya ? Memang kalau sudah renang langsung bisa sunat gitu ? Eh kebalik dhing ! Memang kalau sudah sunat langsung bisa renang gitu ?

*Ssst... nanti baru terbongkar rahasia alasan Rifqi minta segera disunat. Ternyata alasannya adalah agar dia cepat besar dan tidak dibully oleh teman-teman mainnya. Karena mungkin, di antara teman-temannya, tubuh Rifqi lah yang paling kecil.

Kembali ke masalah sunat yang mendadak. Karena permintaan tersebut, libur panjang yang biasanya digunakan untuk bersenang-senang, *kibasin poni, akhirnya saya harus gedabrukan memikirkan hajatan sunat Rifqi. Celengan ayam jago yang ada di pojok kamar pun terpaksa harus dipecah.

Dan tepat hari Jum’at tanggal 26 Desember 2014, tiba lah saat Rifqi disunat. Setelah mandi air hangat, berdo’a dan sarapan bersama , berangkatlah para rombongan ke tempat sunat. Ada Pakdhe, Bapak, Budhe, saudara sepupu dan Pak sopir. Tak terbersit sedikit pun kecemasan dalam benak saya. Karena saya pikir, kalau Rifqi yang minta sunat sendiri, tentu dia nggak akan rewel ketika disunat. Tapi ternyata, perkiraan saya salah, Saudarah-Saudaraahhh ...



Rifqi setelah sunat

Beberapa menit setelah Rifqi selesai disunat. ..


Seorang anak laki-laki dengan memakai sarung yang sedikit dinaikkan, sambil sesunggukan dan berteriak mendekati ibunya.
“ Aku mau hape !”
“ Iya, tunggu sebentar ya ?”
Saya berusaha menenangkan. Maklum di rumah banyak saudara yang datang dan tetangga yang ikut bantu-bantu menyiapkan acara untuk malam harinya.

“ Sekarang. Pokoknya hapenya sekarang !” kalimatnya mendadak langsung melengking.
Whitney Houston aja mungkin kalah kalau dibandingkan dengan tingginya oktaf suara Rifqi.

Waduh, kalau sudah begini, nggak boleh ditunda lagi niih, batin saya. Bergegas, saya ajak suami untuk mencarikan hape Rifqi. Biar tak salah pilih, Rifqi pun saya ajak serta. Di sepanjang perjalanan, dalam mobil, sambil meringis dan sesekali menangis, Rifqi saya pinjami hape saya dulu.

Sepulang dari membeli hape, wajahnya berubah ceria. Setelah hape android seharga jatah bulanan saya itu pun langsung menjadi miliknya. Sakit saat sunat pun mendadak hilang digantikan dengan keasyikan main hape barunya.

Semenjak ada hape yang memuat aneka game, Rifqi jadi mania hape. Bangun tidur, pegang hape. Sambil makan, pegang hape. Mau sekolah pun, pesan ke ibunya cuma satu : jangan lupa untuk ngecas hapenya. Iih, pokoknya hape forever lah. Hidup hape.. Halah.
" Qi, sholat dulu ! "

Perintah saya langsung menggema saat terdengar kumandang adzan Maghrib dari musholla dekat rumah.

" Sebentaaaarr "

" Qiii..... " suara saya langsung meninggi.

" Sebentar, Buuu....." jawaban Rifqi pun tak kalah meninggi.

Waduh, nggak bisa dibiarin niih.

"Hapenya ditaruh !" tegas, tanpa kompromi.

“ Iya..iyaa... “

Tak mau melihat saya lebih marah lagi, (soalnya saya kalau marah menakutkan), Rifqi pun langsung ganti baju muslim dan bergegas ke musholla dekat rumah. Alhamdulillah.. Sejenak saya bisa bernafas lega. Untuk urusan sholat dan ibadah, saya memang tak mau main-main. Apalagi kalau hanya karena hape. Saya tak mau Rifqi mempertuhankan hape dan meninggalkan kewajiban sholatnya.

Dan semenjak ada gelagat Rifqi menjadi hape mania, saya pun mulai membatasi penggunaan hape untuknya. Hape hanya boleh dipakai sehabis pulang sekolah. Kalau saatnya belajar, sholat dan makan, hape harus disimpan. Apalagi kalau mau mandi. Hape ditaruh di tempat yang kering. Soalnya, kalo dibawa pas mandi, pasti hapenya jadi basah. *ya iyalah, anak kecil juga tahu.

Sejak saat itu, Alhamdulillah, Rifqi berangsur-angsur  mudah diingatkan untuk segera sholat berjamaah di musholla dekat rumah.



Rifqi (paling kanan) bersama keluarga membaca  "Anakku Tiket Surgaku"





Tulisan ini diikutsertakan dalam Story Contest “ Anakku Tiket Surgaku” yang diselenggarakan oleh penerbit Tiga Serangkai