Dulu, sewaktu aku masih kecil, dan sering diulang ketika
aku sudah remaja, ibuku (Bu Asiyah) pernah bercerita, bahwa menjadi
anak tiri itu sangat tidak enak. Sangat menderita sekali. Ini bukan
sekedar cerita menakut-nakuti lho......Berdasarkan cerita beliau, Ibuku
dulu sangat menderita sebagai anak tiri. Perlakuan ibu tiri yang kejam,
perlakuan yang berbeda dengan anak kandung, ternyata bukan sekedar
cerita saja.
Ibu memang benar-benar mengalaminya !!!! Untuk
itulah, Ibu tidak mau anak-anaknya menjadi anak tiri. Bagaimanapun
keadaannya, Ibu ingin, semua anaknya diasuh dan dilindunginya. Bahkan
ketika ada kakakku yang akan diasuh oleh Pakdhe, Ibuku tidak
mengijinkannya. Begitu juga kehidupan berumah tangganya dengan Bapak
(Pak Salim). Sangat dijaga betul. Apapun masalahnya dengan Bapak, Ibu
berusaha mempertahankan pernikahannya dengan bapakku. Bagaimanapun
"nakalnya" Bapak, Ibuku selalu memaafkannya. Dan ternyata, hanya
mautlah yang memisahkan kisah cinta Bapakku dengan Ibuku. Bapakku
meninggal dunia pada tanggal 15 Maret 2008.
Ah Ibu,
betapa mulia budi pekertimu. Dengan penghasilan Bapak sebagai PNS
rendahan (Bapak pensiun dengan pangkat I D), dan dengan tanggungan 8
anak, Ibu berusaha sekuat tenaga membesarkan kami, putra putrinya. Ibu
juga berusaha sekuat tenaga agar kami, putra putrinya bisa bersekolah
semaksimal mungkin. Gali lubang tutup lubang, terjerat hutang ke
rentenir (dengan bunga hutang yang sangat mencekik leher), menjual rumah
untuk melunasi hutang, dilakukan Ibu untuk membesarkan kami,
anak-anaknya. Tentang kisah menjual rumah ini, aku masih punya rasa
sakit hati sampai sekarang. Bahkan masih ada keinginan kuat untuk bisa
membeli rumah itu kembali. Ya, sebuah rumah, di Semarang. Rumah tempat
kami dibesarkan beramai-ramai. Rumah yang di sekelilingnya ada pohon
tebu, pohon jambu batu, jambu air, sirsak, dan tumbuhan lain. Sakit
hatiku pada makelar yang menjual rumahkt. Bayangkan, dia bisa menjual
rumaku pada tahun 1985 seharga 3,25 juta, e... sama Ibu dan Bapakku cuma
dibayarkan 2,5 juta. Ah... namanya juga makelar. Ngambil untungnya
banyak banget !!! Sejak dari menjual rumah itu, kami menjadi
"kontraktor". Pengontrak dari rumah yang satu ke rumah yang lain. Kadang
sampai malu aku pada teman-temanku, alamat rumah kok gonta-ganti terus.
Tapi Ibuku tetap saja sabar dan bersahaja menjalani rumah tangga
dengan selalu pindah rumah itu.
Rasa cinta ibu kepadaku
sebagai anak bungsunya semakin terlihat ketika tahun 1994 aku memutuskan
merantau ke Jakarta untuk sekolah kedinasan. Ah Ibu, aku tahu pasti,
engkau pasti sangat berat untuk melepaskanku. Kulihat mata ibuku
berkaca-kaca. Mungkin ibu tidak tega melepasku yang saat itu tidur saja
masih dikeloninya (ah.. jadi malu ...). Tapi restunya tetap
diberikannya untukku, untuk hidup jauh di Jakarta, juga restu untukku
ketika aku menikah pada tanggal 16 Maret 2000. Biarpun aku sudah menikah
dan punya anak, sampai kini, ibu juga masih menyediakan makanan coklat
kesukaanku, seperti GERY CHOCOLATOS. Kalau sudah ada GERY CHOCOLATOS,
bisa rebutan antara anak dan cucu-cucunya.
Kini, ketika 8
anaknya sudah mentas (berkeluarga) semua, kulihat rona kebahagiaan di
wajah ibuku. Apalagi kalau pas ada acara keluarga dan semuanya bisa
ngumpul. Wuih... ramenya. Oh ya, dari 8 anaknya, ibuku sekarang
mempunyai 18 cucu dan 3 buyut lho... Buyut yang ketiga lahir pada
tanggal 25 September 2010 kemarin. Di antara anak-anaknya, ada yang
sudah berhasil menjadi guru SMA, PNS di Pemprov Jawa Tengah, PNS di
Departemen Keuangan, jadi tukang, dan berbagai pekerjaan lainnya.
Inilah hasil dari kerja keras ibu dan bapakku serta berkat penerapan
prinsip ibuku yang tidak mau anak-anaknya menjadi anak tiri. Do 'akan
kami juga selalu rukun ya....
Dan kini ketika usiaku
menginjak 36 tahun , mudah-mudahan, aku juga bisa mengikuti jejak
Ibuku, dapat mempertahankan mahligai pernikahanku yang sekarang “baru”
menginjak usia ke-10. Mudah-mudahan aku juga bisa mengikuti dan
menerapkan prinsip ibuku : "TIDAK INGIN ANAK-ANAKKU MENJADI ANAK TIRI. "
Di usiamu yang senja (68 tahun), ijinkan aku untuk
membahagiakanmu, Ibu. Kalaupun engkau tidak bersedia ikut tinggal
bersamaku di Malang (yang menurutmu sangat dingin, dibandingkan dengan
kotamu kini, Semarang), aku bisa memakluminya. Hanya sebaris do 'a ini
yang senantiasa kupanjatkan di setiap selesai sholatku, Ibu : Ya
Allah, ampunilah dosa Ibu dan Bapakku. Sayangilah mereka, sebagaimana
mereka menyayangiku sewaktu aku masih kecil. Amiiin....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar