Kenangan lebaran yang tidak bisa aku lupakan yaitu saat malam
takbiran, aku menunggui dan menemani bapakku memasak ketupat dan lepet
menggunakan dandang/tempat memasak ketupat yang besar. Aku biasa
menyebutnya dandang raksasa. Memasaknya masih menggunakan cara
tradisional, yaitu dengan menggunakan kayu bakar. Tapi disitulah letak
kelezatan ketupat dan lepet bikinan bapakku. Bahkan karena lezatnya
itulah, ibuku selalu memasrahkan urusan memasak ketupat dan lepet hanya
kepada bapakku. Maklum saja, untuk memasak ketupat memang dibutuhkan
ketelatenan, stamina dan mata yang selalu terjaga. Jangan coba-coba
kalau saat memasak ini kita mengantuk, bisa-bisa ketupat dan lepet kita
akan jadi gosong. Hi hi hi hi hi
Setelah masakannya
matang, bapakku menaruh ketupat dan lepet itu di atas bambu yang
dibentangkan di dekat tungku. Saat menemani bapakku memasak itu, aku
mendapat tugas memasukkan beras dan ketan ke dalam klongsongan ketupat
dan jalinan janur. Dan tugasku yang lain yaitu sebagai pencicip pertama
bila ketupat dan lepet bapak sudah matang. Akulah yang nanti memberi
saran, apakah ketupatnya sudah pas atau kurang air. Ha ha ha ha.. gaya
sekali ya aku waktu kecil ?
Ketika saat sholat Iedul
Fitri tiba, kami beramai-ramai sholat ke tanah lapang. Setelah
sungkeman, minta maaf ke bapak dan ibu serta saudara-saudara yang lain,
kami antri untuk menunggu pembagian angpau dari bapak. Itulah saat yang
kami tunggu-tunggu. Sambil menunggu pembagian angpau, biasanya kami
langsung menikmati ketupat dan opor ayam, lepet dan makanan khas lebaran
lainnya. Setelah itu, barulah kami mengunjungi tetangga dan sanak
saudara untuk bermaaf-maafan.
Itulah kenanganku dengan
bapakku saat Lebaran. Sebagai bungsu dari delapan bersaudara aku memang
sangat dekat dengan bapak.Kini kenangan itu tak mungkin terulang lagi,
karena bapak sudah meninggalkan kami untuk selama-lamanya, menghadap
Sang Khalik, pada tanggal 15 Maret 2008.
Tradisi memasak
ketupat dan lepet di atas tungku dan kayu bakar itu kini tidak bisa
kulakukan lagi dengan kedua putraku, Daffa dan Rifqi. Maklumlah, aku
bukan jago masak ketupat dan lepet. Karena keterbatasan waktu dan
tempat jua aku tidak dapat mengajari Daffa dan Rifqi bagaimana cara
mengisi klongsongan ketupat dan memasaknya di atas tungku. Sebagai
kompensasinya, kami menikmati ketupat dan opor ayam saat kami mudik ke
rumah nenek atau pesan ke tetangga yang pintar memasak. Tapi tradisi
sholat Ied (Iedul Fitri) bersama, bermaaf-maafan dan membagi (atau)
menerima angpau masih kami laukan di setiap lebaran tiba. Semoga
kenangan yang indah ini akan selalu terpatri di ingatan dan benak
puta-putraku, sebagaimana aku juga selalu menyimpan rapi kenangan
lebaranku dengan bapakku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar