Senin, 25 Juni 2012

KENANGAN LEBARANKU : MENEMANI BAPAK MASAK KETUPAT DAN MENERIMA ANGPAU

Kenangan lebaran  yang tidak bisa aku lupakan yaitu saat malam takbiran, aku menunggui dan menemani bapakku memasak ketupat dan lepet  menggunakan  dandang/tempat memasak ketupat  yang besar. Aku biasa menyebutnya dandang raksasa. Memasaknya  masih menggunakan cara tradisional, yaitu  dengan menggunakan kayu bakar. Tapi disitulah letak kelezatan ketupat dan lepet bikinan bapakku. Bahkan karena lezatnya itulah, ibuku selalu memasrahkan urusan memasak ketupat dan lepet hanya kepada bapakku. Maklum saja, untuk memasak ketupat memang dibutuhkan ketelatenan, stamina dan mata yang selalu terjaga. Jangan coba-coba kalau saat memasak ini kita mengantuk, bisa-bisa ketupat dan lepet kita akan jadi gosong. Hi hi hi hi hi

Setelah masakannya matang, bapakku menaruh ketupat dan lepet itu di atas bambu yang dibentangkan di dekat tungku. Saat menemani  bapakku memasak itu, aku mendapat tugas memasukkan beras dan ketan ke dalam klongsongan ketupat dan jalinan janur.  Dan tugasku yang lain yaitu sebagai pencicip pertama bila ketupat dan lepet bapak sudah matang. Akulah yang nanti memberi saran, apakah ketupatnya sudah pas atau kurang air. Ha ha ha ha.. gaya sekali ya aku waktu kecil ?

Ketika saat sholat Iedul Fitri  tiba, kami beramai-ramai sholat ke tanah lapang. Setelah sungkeman, minta maaf ke bapak dan ibu serta saudara-saudara yang lain, kami antri untuk menunggu pembagian angpau dari bapak. Itulah saat yang kami tunggu-tunggu. Sambil menunggu pembagian angpau, biasanya kami langsung menikmati ketupat dan opor ayam, lepet dan makanan khas lebaran lainnya.  Setelah itu, barulah kami mengunjungi tetangga dan sanak saudara untuk bermaaf-maafan.

Itulah kenanganku dengan bapakku saat Lebaran. Sebagai bungsu dari delapan bersaudara aku memang sangat dekat dengan bapak.Kini kenangan itu tak mungkin terulang lagi, karena bapak sudah meninggalkan kami untuk selama-lamanya, menghadap Sang Khalik,  pada tanggal 15  Maret 2008.

Tradisi memasak ketupat dan lepet di atas tungku dan kayu bakar itu kini  tidak bisa kulakukan lagi dengan kedua putraku, Daffa dan Rifqi. Maklumlah, aku bukan jago masak ketupat dan lepet. Karena keterbatasan waktu dan tempat  jua aku tidak dapat mengajari Daffa dan Rifqi bagaimana cara mengisi klongsongan ketupat dan memasaknya di atas tungku. Sebagai kompensasinya, kami menikmati ketupat dan opor ayam saat kami mudik ke rumah nenek atau pesan ke tetangga yang pintar memasak. Tapi tradisi sholat Ied (Iedul Fitri)  bersama, bermaaf-maafan dan membagi (atau) menerima angpau masih kami laukan di setiap lebaran tiba. Semoga kenangan yang indah ini  akan  selalu terpatri di ingatan dan benak puta-putraku, sebagaimana aku juga selalu menyimpan rapi kenangan lebaranku dengan bapakku. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar